Home » » Cerita Kami, Sebuah Karya guru dan siswa, Cuplikan Kisah-kisah Anak Jerieng Kampung Pal 4 Mentok

Cerita Kami, Sebuah Karya guru dan siswa, Cuplikan Kisah-kisah Anak Jerieng Kampung Pal 4 Mentok

Oleh: "SDN 10 Muntok" | B.I.S.A Minggu, 30 Juli 2023

 


”Cerita Kami; Spirit of Kajak ilah Mo, Cuplikan Kisah-kisah Anak Jerieng Kampung Pal 4 Mentok”. 

Adalah sebuah karya yang menjadi kebanggaan.

Sebagai buku kumpulan tulisan karya guru dan siswa, tulisan yang dimuat dalam buku ini menjadi bukti bahwa sebenarnya siswa itu mampu memberikan karya, meski hanya sekedar seadanya saja, sesuai dengan batas kemampuan yang mereka miliki. 

SPIRIT OF KAJAK ILAH MO

Kajak ilah mo adalah bagian dari ungkapan yang ada pada bahasa Jerieng di Bangka, yang berarti sebuah penegasan akan sesuatu (mengiyakan). Misalnya jika disebutkan "kau pandei temen bekisah" di jawablah dengan penegasan "kajak ilah mo" ('kamu pandai sekali bercerita' dijawab 'memang begitulah/iya betul'). Kajak itu bisa berarti emang, dan kadang menyesuaikan dengan kalimat. Ilah itu merupakan pemaknaan dari iya dan atau betul, tergantung kalimatnya. Sedangkan 'mo' adalah sebagai kata pelengkap, tidak memiliki arti secara khusus.

Pernyataan ini (kajak ilah mo) merupakan petikan kalimat pendek yang akrab di tengah masyarakat yang berbahasa Jerieng, pun demikian sekarang juga sudah akrab di pulau Bangka, khususnya di Mentok.

Jerieng sendiri merupakan bagian dari rumpun Melayu yang ada di Bangka, yang dikenal penduduknya dengan orang darat (kadang juga disebut orang gunung) dan orang laut (Sekak). Melayu Jerieng ini merupakan bagian dari orang darat.

Jerieng adalah salah satu kelompok masyarakat Melayu Bangka yang tinggal di wilayah Kecamatan Simpang Teritip dan sekitarnya, termasuk dalam hal ini kampung Pal 4 Daya Baru Mentok. 

Secara budaya, sebagaimana dalam tulisan Suryan (2018) yang berjudul "Orang Jerieng di tengah Masyarakat Bangka" menyebutkan bahwa tidak banyak perbedaan dengan komunitas melayu lainnya yang ada di Bangka, hanya pada bahasa yang sedikit unik, baik dari tata cara pengucapan maupun logat kata. 

Masyarakat Jerieng tergolong mudah beradaptasi dan penyesuaian, karena secara dialek dan logat bahasa tidak banyak hal-hal yang rumit dari pelafalannya, dari segi adat istiadat dan budaya juga tidak banyak perbedaan.

Untuk sejarah dan asal usul Jerieng sendiri hingga saat ini belum diketahui secara pasti, hanya saja menurut pendapat dan pandangan yang ada bahwa Jerieng di Bangka ada hubungannya dengan Jering di Pattani, Thailand Selatan. Namun demikian, ini hanyalah perkiraan semata, sehingga tidak dapat dijadikan acuan atau dasar.

Secara legenda dikutip dari Sardi (2010), disebutkan bahwa pada Zaman kerajaan Sriwijaya ada seorang pendekar mengasingkan diri bersama istrinya ke Pulau Bangka, tepatnya di sekitar kaki Gunung Maras. Konon sepasang pendekar ini melahirkan 12 anak yang setelah besar mengembara ke pelosok Pulau Bangka. Ke arah Bangka Barat mengembaralah anaknya yang bernama Jerieng dan kemudian menetap di Sungai Besar (yang nantinya disebut Sungai Jerieng). 

Versi lainnya disebutkan bahwa itu bermula ketika ada dua orang putra putri Kerajaan Melayu yang melanggar titah kerajaan dan diasingkan ke Pulau Bangka bagian barat. Pengasingan tersebut disertai dengan dayang-dayang dan prajurit kerajaan. Tempat pengasingan itu kini disebut warga setempat dengan Tanah Tua.

Dalam karya AA Bakar yang berjudul “Cerita Tanah Tua”, yang ia tulis pada Desember 1975 menyebutkan bahwa asal mula cerita tanah tua adalah ketika pada zaman dahulu kala, di kampung Kundi (sekarang), rimbawai, rimba puput, dan sekitarnya pada zaman itu masih merupakan pantai, termasuk juga sungai Jerieng masih menjadi laut yang amat besar. Barisan dari kanan menuju ke Mentok pada masa itu masih merupakan pantai. 

Pada suatu hari, seorang dari penduduk kampung Pangak (Pangek sekarang) dalam kelurahan Peradung (Peradong sekarang) kecamatan Mentok pergi memancing ikan di pinggir pantai. Pantai waktu itu sekarang posisinya di rimbawai. Maka pada suatu hari terlihatlah olehnya sebuah benda terapung-apung menuju pantai dan akhirnya menepi. Masih dalam kondisi terapung benda itu, tiba-tiba terhenti karena kandas di beting. Tidak lama kemudian, yang tadinya laut yang luas menjadi daratan semuanya, seluas mata memandang. Tiba-tiba dilihatnya dari benda terapung (gong gamelan) tadi turun sesosok manusia, yang tak lain adalah seorang putri cantik.

Asal mula putri cantik hanyut adalah ketika di kampung halamannya terjadi banjir yang luar biasa. Semua kampung kena banjir hingga tenggelam, untung saya di dekat dua kakak beradik (putri dan pangeran) ada dua buah Gong gamelan yang besar dan menaikinya. Mereka hanyut sampai beberapa purnama lamanya.

Pada suatu hari, mereka berdua menggunakan pusaka dari kedua orangtuanya, yang kemudian turunlah angin topan disertai dengan hujan yang sangat lebat, hingga tidak terlihat lagi antara satu lain. Setelah cuaca tenang, gong kakak laki-lakinya telah hilang tak terlihat lagi. Sedangkan saya terombang ambing dan terhenti disini. Waktu itu, saat ia turun  tiba-tiba air menjadi kering. Kemudian tanah yang pertama kali menjadi daratan atau Tanah Tua (tanah yang bertuah).

Dalam catatan E.H. Rottger, dengan judul Verslag Eener Bezoekreis Op Het Eiland Banka (1840: 25), ketika ia melakukan perjalanan di Pulau Bangka, ia menyebutkan perjalanan ke Jerieng (dengan tulisan Djering) dari Njalauw (kampung Kapuk), kemudian dari Jerieng ia menuju ke Mentok. 

“Den 10 den Aug. ging ik van Njalauw, over Empang, Maijong , Kaljong en Trentha, naar Djering, (30 Eng. mijlen), waar ik in het huis van een Kampongshoofd gerust sliep, en ook voor geld rijst hebben konde. 

Den 11 den Aug. ging ik van Djering, over Planas en Maijang naar Muntok, (20 Eng. mij len) waar ik des middags ten 3 ure aankwam.” 

Kemudian Thomas Horsfield (1848:380) tentang deskripsi geografis Pulau Bangka, Report on the Island or Banka dalam The Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia, juga menceritakan tentang Jerieng dengan tulisan ‘Dshering’, ia menyebutkan bahwa Sungai Tempilang tidaklah besar, tetapi Jerieng adalah salah satu yang terbesar di pulau ini, dan saat debitnya naik hampir satu mil, naiknya hingga ke dekat kaki Gunung Maras. 

“The river of Tampelang is not considerable, but that of Dshering is one of the largest of the island, and at its discharge nearly a mile wide. It rises in a district of the same name near the foot of the mountain Marass, pursues, upon the whole, a course from north-east to south-west, receives numerous branches, and discharges itself into an extensive bay which will be mentioned in the sequel. ...”

Silakan download 
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KARTINI KARTINI KARTINI
Flag Counter